Bismillah ... Kutatap lekat-lekat nama yang tertulis di atas kertas
karton merah jambu berpita emas itu. Salman Al Farisi. Nama indah dari
sahabat Rasulullah yang merupakan seorang jenius dalam menyusun strategi
perang. Kualitasnya tidak akan pernah
ditandingi oleh penyandang nama yang sama dengannya setelahnya. Termasuk
juga kakak tingkatku, Mas Faris, biasa ia disapa.
Tak lupa
juga kupandangi nama yang tertulis beberapa baris di atasnya. Armaida
Qur’ani. Nama yang lima hari ke depan akan diikrarkan Mas Faris sebagai
istrinya, pendamping hidupnya, yang akan dibimbing menuju surga Ilahi.
Penasaran aku akan sosoknya. Seperti apakah parasnya, semanis apa
senyumnya, seteduh apa wajahnya, hingga Mas Faris yang bahkan belum
menginjak usia 24 tahun begitu mantap menikahinya. Kubalik kertas
undangan itu. Di situ tertera namaku. Seseorang yang diundang agar
berkenan hadir dan memberikan doa bahagia. Miris yang ku rasa.
Jika kertas-kertas undangan itu bisa berekspresi pastilah semuanya
merasa bahagia karena para pembacanya akan tersenyum melihat dua nama di
atasnya akan segera bersanding. Kecuali undangan yang ku pegang. Ia
akan merasa menjadi kertas undangan paling tidak beruntung di muka bumi
karena gadis yang membacanya hanya bisa menorehkan senyuman kecut,
lengkap dengan lelehan air mata.
Sudah sejak awal aku masuk
kuliah, sosok Salman Al Farisi kw sekian itu sudah menjadi sosok yang
lebih di mataku. Suara adzan dan tilawahnya, tawa renyahnya saat
bercanda dengan teman-temannya, retorikanya saat mengisi kajian,
argumennya yang cerdas tetapi tidak menggurui saat berdiskusi, dan… ah
sudahlah. Mengingat-ingat kelebihannya malah hanya akan membuat hati
gusar.
“Allahu akbar Allahu akbar”. Suara adzan Zhuhur dari
masjid komplek membuyarkan lamunanku sekaligus mengembalikan kembali
lamunanku hanya dalam sepersekian detik. Kuingat betul suara Mas Faris
saat biasa melantunkan adzan di mushalla kampus. Alangkah bahagianya
orang yang kelak akan diadzaninya tiap pagi. Eh, salah. Mungkin lebih
tepatnya alangkah bahagianya seseorang yang kelak akan mendengar
tilawahnya tiap pagi-petang. Alangkah bahagianya.
“Hentikan!”
bentakku pada diri sendiri. Segera aku beranjak dari kasur tempatku
bergundah gulana beberapa jam terakhir guna mengambil wudhlu dan bertemu
Allah.
***
Dengan langkah gontai kuhampiri ibukku yang
siang itu tengah sibuk mengaliskan adonan kue keringnya. Setelah duduk
terdiam mengamati jari-jari gemuknya yang lincah menggilas adonan selama
beberapa menit, kusampaikan isi otakku padanya.
“Buk, Safna mau nikah”
“Kapan?” tanya ibuk santai.
“Lha enaknya kapan buk?” tanyaku kembali sambil memain-mainkan tepung terigu di wadah.
“Lha ibuk itu yo manut sama kamu lo. Kamu mau menikah kapan pun ibuk
juga gak berhak menghalangi. Pertanyaan ibuk, mana calonnya? Kok belum
datang nyamperin ibuk sama bapak buat ngelamar kamu. Atau kamu mau
dicarikan?”
“Orangnya udah ada buk. Tapi masalahnya bukan dia
yang mau ngelamar Safna, tapi Safna yang mau ngelamar dia.hehe” jawabku
berusaha melucu.
Ibuk hanya diam, tak menggubris celotehku.
“ Kakak tingkat Safna mau nikah buk. Itu lo, mas Faris” ceritaku kembali menyambung obrolan, berharap ibuk menimpali.
“Alhamdulillah. Faris yang sering kamu ceritain ke ibuk itu to? Terus, hubungannya sama kamu apa?” Tanya ibuk polos.
“Buk, apa cerita Safna selama ini belum mampu menunjukkan kalau
sesungguhnya aku mengidam-idamkannya?” tanyaku dengan menatap ibuk tajam
Ibuk mesem “Bahasamu itu lo, sok banget. Ya ngerti to sab, jelas ibuk
paham. Ibuk itu pendengar yang baik. Si pencerita nggak perlu
menceritakan secara tuntas dan lugas pun, ibuk sudah paham maksudnya.
Lha terus pie saiki karepmu?”
“Kira-kira, kalo Safna datang ke
rumah Mas Faris, ngomong kalau sebenarnya udah jauh-jauh hari Safna suka
sama Mas Faris, terus Safna bilang harusnya Mas Faris itu nikahnya sama
Safna aja, pokoknya biar gak jadi nikah sama mbak yang di undangan itu,
kira-kira berhasil gak buk?” tanyaku pada ibuk meskipun aku sadar,
pertanyaan yang baru saja kulontarkan jauh dari kata bermutu.
Dengan panjang lebar ibuk menjawab “Kalo itu sinetron ya jelas berhasil
sab. Heh, dengerin ibuk ya Sab. Nikah yang kamu maksud sekarang ini tu
nikah kesusu, terburu-buru, mengejar nafsu bukan lillahi ta’ala. Orang
itu nikah biasanya yang di cari apa to? Kalo yang dicari manusia itu
shalih, ganteng, dan harta, semuanya ada di dekat sini. Yang shalih, itu
mas Wildan yang tinggal di masjid . Shalatnya lima waktu, tepat waktu,
berjamaah, di masjid terus lagi. Yang ganteng? Itu ada mas tukang bubur
yang tiap pagi lewat. Gak ada yang ngomong dia jelek kan? Atau mau yang
kaya? Ada itu Pak Gun yang mobilnya jlentrek-jlentrek. Tapi pilihannya,
kamu mau jadi istri yang ke tiga atau empat?”
“Aku maunya Mas Faris buk” Jawabku sekenanya
“Kenapa harus Faris?” Tukas ibuk cepat.
“ Karenaaa…. Satu, shalat dan ngajinya aku yakin lah, dia top banget.
Kalau denger adzan langsung berdiri, gak molor-molorin lagi. Dua, dia
orangnya cerdas banget. Kelihatan dari omongan-omongan spontannya itu
buk. Apalagi kalo lagi ngasih nasihat ke adek-adeknya. Tiga, dia udah
mandiri buk. Udah bisa cari duit sendiri meskipun belum lulus kuliah.
Itu buk, mas Faris tu hobi sama fotografi dan edit-edit foto. Jadi dia
sering dapet orderan gitu deh. Udah kayak fotografer pro pokoknya. Dan
yang ke empat sih relatif ya, dia manis kalo kata Safna mah.hehe”
Selorohku menggebu-gebu meyakinkan ibuk agar memaklumi kegalauanku.
“ Terus ibuk mau tanya. Kalo kamu bilang dia shalih, emang kamu sudah shalihah? Shalat dan ngajimu sudah top juga?”
“ Ya belum sih, makanya aku mau dibimbing” jawabku membela diri.
“Kalau kamu bilang dia cerdas, pinter, emang kamu udah pinter juga?
Kamu yakin kamu bisa jadi teman diskusi yang baik? Kamu yakin dia
nantinya nyambung sama kamu?”
“Belum buk, makanya aku minta
diajari biar bisa pinter kaya dia” kembali aku mengemukakan argumen yang
sama untuk menjawab pertanyaan ibuk.
“Kamu juga bilang dia
mandiri, bisa cari duit sendiri. Emang kamu udah bisa semandiri itu? Apa
mau diajarin juga? Gak malu terus-terusan diajarin?”
Tajam benar pertanyaan ibuk yang terakhir ini. Dan aku hanya bisa menggeleng pasrah.
“ Sab, anakku yang manis, yang sedang galau karena pujaannya akan segera memperistri wanita lain..”
“ Kalimat yang terakhir itu gak perlu dipake buk” potongku
“Hihi, iya bercanda. Nduk, ikhtiar seseorang dalam mencari jodoh itu ya
cuma dua. Doa dan memantaskan diri. Coba sekali lagi An-Nur ayat 26 nya
dibaca. Yang baik itu untuk yang baik. Lha kamu, habis cerita bla bla
bla lebihnya si Faris, tapi ibuk tanyain, gak ada satu jawaban pun yang
kamu bilang iya, sudah. Semuanya belum. Bercermin kui penting anakku
sing ayu dewe. Pesen ibuk yowislah, ikhlaskan Faris. Allah itu baik
nduk. Dia ngasih kamu kesempatan lebih lama untuk memperbaiki diri,
untuk lebih ikhtiar, biar kamu juga bisa dapat yang sama, bahkan mungkin
lebih dari Salman Al Farisi. Ikhlas nduk, ikhlas..”
Nasihat
ibuk padaku yang sungguh semakin menamparku betapa tidak tahu malunya
aku meminta yang lebih pada Allah saat aku belum bisa dikatakan lebih.
Nasihat yang singkat tapi sungguh telah membuatku iklas dan yakin akan
firman Allah bahwa belum tentu sesuatu yang kita inginkan akan selalu
baik untuk kita.
“Kok ibuk tahu nama panjangnya?” tanyaku tak fokus, sambil mengelap kaca-kaca di mata.
“Asal ngomong aja, emang bener itu to?”
“hehehe. Udah ah gak penting. Yuk Safna bantuin nyetakkin adonannya”
Ibuk mencubit kecil pipiku sambil tersenyum “Dari tadi gitu kan lebih bagus”
***
“Gimana, lancar nikahannya?” tanya ibuk langsung menyambutku yang baru saja pulang menghadiri walimah Mas Faris dan istrinya.
“Alhamdulillah buk. Wong Mas Faris aja senyum terus gak berhenti.
Seneng banget gitu.” Jawabku sembari menghampiri ibuk yang sedang sibuk
membolak-balik koran edisi hari itu yang sepertinya baru sempat
dibacanya.
” Istrinya ayu banget. Wajahnya asli wajah istri
idaman gitu buk. Kata temenku dia itu aktivis super. Sering ngisi
kajian, udah merintis rumah baca sama sekolah kolong jembatan buat anak
jalanan di mana-mana. Jiwa sosialnya tinggi banget. Allah memang gak
pernah salah ya buk..” aku melanjutkan cerita
“Iya,untung ya si
Faris gak dapet kamu” ibuk meledekku sambil menjulurkan lidahnya persis
seperti keponakan kecilku yang sering usil menggangguku. “Jadi gimana?
Mau nikah kapan?”
“Ehmm.. ya maunya sih as soon as possible
buk. Kan ibuk tempo hari bilang, ikhtiar dulu, ngaca dulu, memantaskan
diri dulu. Tapi kalo misalkan aja mas Faris yang ngajak Safna nikah,
sekarang pun Safna siap kok” kekehku menggoda ibuk
“Ibuk beneran bingung. Benernya gimana to? Kamu tuh udah sadar belum? Udah ikhlas belum?” Tanya ibuk mengerutkan kening.
“Hihi, becanda. Udah ibuk sayaaang.” jawabku sambil beranjak dari kursi
tempatku berbincang singkat dengan ibuk. Tak lupa kucium pipinya
sebelum berlari kecil menuju kamarku dan meninggalkannya dalam senyum
simpul manisnya.
Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.
(Subhanallah || Semoga Bermanfaat & Silahkan Di Share)
#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa atuubu Ilaik ...
![]() |
No comments:
Post a Comment